Senin, 30 Januari 2012

Pemikiran Filosof Muslim Periode Klasik : Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali


Pemikiran Filosof Muslim Periode Klasik : Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali


Oleh :
M. Farid Zulkarnain
NPM. 1101692
Proram Studi Hukum Keluarga



 








BAB I
PENDAHULUAN

Semenjak manusia menginjakkan kakinya di bumi ini, ia sudah mulai berfikir tentang diri dan lingkungannya secara sederhana. Pemikiran yang tumbuh dan berantai dari satu generasi ke generasi berikutnya menghasilkan kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Dalam mata rantai inilah tumbuh dan hidupnya filsafat. Kebudayaan Babylonia dan Assiria, yang tumbuh dari mata air agama yang hanif yang di bawa oleh para rasul semenjak Adam sampai Ibrahim, dan diteruskan oleh Daud, Sulaiman dan Lukman al-Hakim, kemudian menyebar sampai ke daratan Yunani, di bawa oleh para pecinta ilmu, sehingga menumbuhkan kebudayaan dan filsafat Yunani kuno.
Namun rantai panjang itu akan akan tetap membentang ke timur dan ke barat, akhirnya filsafat Yunani yang kesohor itu di bawa pula ke dunia Islam yang sedang berkembang dengan pesat. Oleh para filosuf muslim filsafat diulas, digali, dan dianalisa kembali, sehingga melahirkan filsafat Islam, dan kemudian hasil kebudayaan yang tumbuh di dunia islam itu menyebar lagi ke luar wilayah dunia islam, sehingga melahirkan masa pencerahan, aufklarung, renaissance dan reformasi di dunia Eropa yang menghasilkan pengetahuan modern dewasa ini.
Dalam tulisan ini, penulis ingin memaparkan  pemikiran-pemikiran para filosof islam klasik  yang mempengaruhi Sejarah Pemikiran Islam, yaitu : pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    Al-Farabi
1.      Biografi Al-Farabi
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.[1] Al-Farabi dalam sumber sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.[2] Ia berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di Damsyik[3] Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut orang Persia atau orang Turki.[4]
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.[5]
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad.[6]
Tahun 940 M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).[7]
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya, Al-Farabi hidup di tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih kekuasaan.[8]
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar kokoh dalam pondasi filsafat.[9] Walaupun al-Farabi merupakan ahli metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.[10]
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya, terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika kepada Yuhanna ibn Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al- Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada abad ke-4/10. Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang, diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah Abu Bisyr Matta ibn Yunus.[11] Untuk beberapa lama ia belajar dengannya.
2.      Karya-Karya Al-Farabi
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al- Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil oleh para Nabi.[12]
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah; dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan filsafat, fisika, matematika dan politik. Kebanyakan pemikiran yang dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.[13]  Diantara judul karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat.[14]
3.      Pemikiran Al-Farabi
Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan salah satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang, seketika ia mampu menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari. Salah satu cabang filsafat adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan hakikat kenyataan.[15]
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
1.      Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
2.      Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.
3.      Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.[16]
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam. Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons dengan ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis. Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang berarti berpikir.[17]
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan Islam.
Masuknya anasir lain ke tubuh umat Islam tak terelakkan lagi bagi pemikir untuk memberikan pemecahan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Al-Kindi memang telah berusaha menelaah wacana Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat al-Farabi. Misalnya, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam.
Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika, sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah tersebut tidak berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya tidak sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dalam sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat seluruhnya. Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk menjelaskan ini.
Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1.      Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2.      Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3.      Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4.      Benda-benda bumi (teresterial).[18]
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama.
Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;
1. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
2. Pokok utama segala yang maujud
3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat (esensi) dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu, wujud adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat; Pertama yang wajib ada. Aristoteles membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya.
Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang sungguh-sungguh ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh-sungguh ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya mempunyai nilai nisbi.[19]
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan: Kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali tidak didasari oleh dalil-dalil.[20] Jadi argumentasi itu penting sekali dari pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang banyak terjadi di kalangan umat Islam.
Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.
1.      Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal (reasonable) dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’aqqul).
2.      Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identic dengan pikiran sehat (common sense- indria bersama).
3.      Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara instingtif dan intuitif.
4.      Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.
5.      Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.
6.      Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk yang memancar dari padanya, karena beberapa rintangan atau yang lainnya.[21]

B.     Ibnu Sina
1.      Biografi Ibnu Sina
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Ia lahir pada tahun 980 M di Asfshana, suatu tempat dekat Bukhara. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[22] Di Bukhara ia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an seluruhnya.[23] Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry, Euclid dan Al-Magest-Ptolemus. Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator - komentator dari pengarang yang otoriter dari Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab.
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang- cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40an kali membacanya. Baru setelah ia membaca Agradhu kitab ma warait thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[24]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit.[25] Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak  pernah dikecewakan. Sering-sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[26]
2.      Karya-Karya Ibnu Sina
Sepanjang hayatnya, Ibnu Sina banyak menulis berbagai macam karya yang berkaitan dengan bidang yang ditekuninya, baik dalam bentuk buku maupun risalah. Karya-karyanya itu antara lain :
·         Qanun fi Thib
Kitab ini ditulis ketika ia menuntut ilmu di Rayy dan Hamadan. Qanun fi Thib yang dalam bahasa Inggris telah diterjemahkan dengan nama The Canon of Medicine, berisi tentang berbagai macam cara penyembuhan dan obatobatan. Didalamnya tertulis jutaan item tentang pengobatan dan oabt-obatan. Karena itu, ada pula yang menamakan kitabnya ini sebagai Ensiklopedia Pengobatan.
·         Al-Magest
Buku ini berkaitan dengan bidang astronomi. Diantara isinya, bantahan terhadap pandangan Euclides, serta meragukan pandangan Aristoteles yang menyamakan bintang-bintang tak bergerak. Menurutnya, bintang-bintang yang tak bergerak tidak berada dalam satu globe.


·         Asy-Syifa
Dalam buku Asy-Syifa ini, Ibnu Sina juga menuliskan tentang masalah penyakit dan pengobatan sekaligus obat yang  dibutuhkan berkaitan dengan penyakit bersangkutan. Sama seperti Qanun fi Thib, kitab Asy-Syifa ini juga dikenal dalam dunia kedokteran sebagai Ensiklopedia filosofi dunia kedokteran. Kitab ini terdiri dari 18 jilid.
·         De Conglutineation Lagibum
Kitab ini ditulis dalam bahasa latin, yang membahas tentang masalah penciptaan alam. Diantaranya tentang asal nama gunung. Menurutnya, kemungkinan gunung tercipta karena dua sebab. Pertama, menggelembungnya kulit luar bumi lantaran goncangan hebat gempa. Dan kedua, karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses itu
mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi.[27]

3.      Pemikiran Ibnu Sina
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan, sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan ataupun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat.
Memang tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan, seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina tidak mempunyai kepribadian sendiri atau pikiran-pikiran yang sebelumnya, baik dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan metafisika.
Dalam segi fisika, ia banyak  memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan yang menyebabkan dia mendekati pendapat-pendapat filosof modern.[28]
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.[29]
Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Sebagaimana Al-Farabi, ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Pemikiran ini berbeda dengan pemikiran kaum sufi dan kaum mu’tazilah. Bagi kaum sufi kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud hakiki disamping Tuhan, itu mngandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat : Tiada yang berwujud selain dari Allah swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan-akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu ia pada hakekatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.
Kalau kaum Mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat–sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah swt, maka kaum filosof Islam yang dipelopori al-Farabi, pergi ke faham emanasi atau al-faidh. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, al-Farabi berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak. Pemikiran yang banyak membuat faham tauhid tidak murni lagi.[30]
Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya sebagaimana kata Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.[31]
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[32]
Dari pemikiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi-segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1.      Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhkan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan- kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2.      Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.[33]
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
1.      Jiwa tumbuh - tumbuhan dengan daya - daya :
-      Makan (nutrition)
-      Tumbuh (growth)
-      Berkembang biak (reproduction)
2.      Jiwa binatang dengan daya - daya :
-      Gerak (locomotion)
-      Menangkap (perception) dengan dua bagian :
*      Menangkap dari luar dengan panca indera
*      Menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam.
-      Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera.
-      Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama.
-     Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi
-     Estimasi yang dapat menangkap hal-hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala.
-     Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3.      Jiwa manusia dengan daya - daya :
-      Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.     Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b.    Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.     Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.    Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.[34]
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Pemikiran Ibnu Sina tentang pentingnya gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang oleh Ibnu Sina telah diusahakan untuk dibangun dalam empat tingkatan : intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.[35]
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan–tujuan dan prinsip–prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi– memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.[36]

C.    Al-Ghazali
1.      Biografi Al-Ghazali
Imam al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M. Nama aslinya Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).[37]
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.”[38]Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Al-Ghazali muda hidup dan berkembang di lingkungan yang sangat kondusif bagi peningkatan keintelektualnya. Ayahnya, meskipun bukan orang ‘alim akan tetapi Muhammad Ath Thusi, ayah beliau, adalah orang yang sangat mencintai ilmu dan ulama’, ayahnya sering mengunjungi majelis-majelis ilmu di negerinya. Ayahnya adalah seorang penenun wol yang meski dengan penghasilan yang biasa ia suka  mendermakan sebagaian hartanya untuk kegiatan-kegiatan keilmuan.[39] Tradisi ayahnya inilah yang membentuk karakter Imam al-Ghazali dalam kelananya mencari ilmu.

2.      Karya-Karya Al-Ghazali
Al Ghazali merupakan ulama yang sangat produktif dalam menciptakan karya tulis. Kegiatan dalam bidang tulis menulis tidak pernah berhenti sampai ia meninggal dunia. Beliau menulis hampir 100 buku yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti Ilmu Kalam (Theologi Islam), Fiqih (Hukum Islam), Tasawuf, Filsafat, Akhlak dan Otobiographi. Karangannya itu ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. Karya Al-Ghazali dibidang teologi, yaitu:
·         Al-Munqidh min adh-Dhalal
·         Al-Iqtishad fi al-I`tiqad
·         Al-Risalah al-Qudsiyyah
·         Kitab al-Arba'in fi Ushul ad-Din
·         Mizan al-Amal
·         Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah.[40]

Dibidang tasawuf, yaitu:
·         Ihya Ulumuddin (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), merupakan karyanya yang terkenal
·         Kimiya as-Sa'adah (Kimia Kebahagiaan)
·         Misykah al-Anwar (The Niche of Lights)
Dibidang filsafat meliputi :
·         Maqasid al-Falasifah
·         Tahafut al-Falasifah, buku ini membahas kelemahan-kelemahan para filosof masa itu, yang kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushdi dalam buku Tahafut al-Tahafut (The Incoherence of the Incoherence).
Karya beliau dibidang fiqih Al-Mushtasfa min `Ilm al-Ushul. Kemudain dibidang pemikiran/logika meliputi:
·         Mi`yar al-Ilm (The Standard Measure of Knowledge)
·         al-Qistas al-Mustaqim (The Just Balance)
·         Mihakk al-Nazar fi al-Manthiq (The Touchstone of Proof in Logic)
3.      Pemikiran Al-Ghazali
Salah seorang pemikir besar di dunia Islam abad ke lima Hijriyah, yang terkenal dengan julukan hujjat al-Islam, adalah al-Ghazali. Tokoh ini senantiasa menjadi fokus pembicaraan dan sorotan, baik bagi yang bernada pro maupun yang kontra. Dari satu pihak, al-Ghazali di pandang sebagai penjelmaan dari hadis Nabi yang menyatakan bahwa pada awal setiap abad,
Allah akan mengutus seorang hamba-Nya untuk menghidupkan keimanan umat Islam. Namun di pihak lain, Al-Ghazali dipandang sebagai orang yang ‘tersesat’ dan ‘biang keladi’ kemunduran pemikiran umat Islam, dengan Tahafut al-Falasifah-nya yang mengakibatkan sejak saat itu filsafat hampir tidak lagi didengar di dunia Islam. Ditambah lagi dengan tasawufnya yang lebih mengutamakan aspek rasa (dzawq) dan kasyf daripada pemikiran ilmiah yang kritis.[41]
Al-Ghazali dikenal sebagai seorang filsuf Muslim yang secara tegas menolak segala bentuk pemikiran filsafat metafisik yang berbau Yunani. Dalam bukunya berjudul The Incoherence of Philosophers, Al-Ghazali mencoba meluruskan filsafat Islam dari pengaruh Yunani menjadi filsafat Islam, yang didasarkan pada sebab-akibat yang ditentukan Tuhan atau perantaraan malaikat. Upaya membersihkan filasat Islam dari pengaruh para pemikir Yunani yang dilakukan Al-Ghazali itu dikenal sebagai teori occasionalism.
Sosok Al-Ghazali sangat sulit untuk dipisahkan dari filsafat. Baginya, filsafat yang dilontarkan pendahulunya, Al-Farabi dan Ibnu Sina, bukanlah sebuah objek kritik yang mudah, melainkan komponen penting buat pembelajaran dirinya.
Seperti diketahui, sebelum melakukan kritiknya terhadap filsafat, al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari filsafat Yunani secara khusus. Hasilnya, dia mengelompokkan filsafat Yunani menjadi tiga aliran, yaitu: 1) Dahriyyun (mirip aliran materialisme), 2) Thabi’iyyun (mirip aliran naturalis), 3) Ilahiyyun (nirip aliran Deisme). Menurut al-Ghazali, yang pertama, Dahriyyun, mengingkari keterciptaan alam. Alam senantiasa ada dengan dirinya sendiri, tak ada yang menciptakan. Binatang tercipta dari sperma (nutfah) dan nutfah tercipta dari binatang, begitu seterusnya. Aliran ini disebut oleh al-Ghazali sebagai kaum Zindik (Zanadiqah).
Aliran yang kedua, yaitu Thabi’iyyun, aliran yang banyak meneliti dan mengagumi ciptaan Tuhan, mengakui adanya Tuhan tetapi justru mereka berkesimpulan “tidak mungkin yang telah tiada kembali”. Menurutnya, jiwa itu akan mati dan tidak akan kembali. Karena itu aliran ini mengingkari adanya akhirat, pahala-surga, siksa-neraka, kiamat dan hisab. Menurut al-Ghazali, meskipun aliran ini meng-imani Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi juga temasuk Zanadiqah karena mengingkari hari akhir yang juga menjadi pangkal iman.
Aliran yang ketiga, Ilahiyyun, ialah kelompok yang datang paling kemudian diantara para filosof Yunani. Tokoh-tokohnya adalah Socrates, Plato (murid Socrates) dan Aristoteles (murid Plato). Menurut al-Ghazali, Aristoteles-lah yang berhasil menyusun logika (manthiq) dan ilmu pengetahuan. Tetapi masih terdapat beberapa hal dari produk pemikirannya yang wajib dikafirkan sebagaimana wajib mengkafirkan pemikiran bid’ah dari para filosof Islam pengikutnya seperti Ibnu Sina dan al-Farabi.




BAB III
KESIMPULAN

            Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pemikiran al-Farabi tentang filsafat adalah mengetahui semua yang wujud karena ia wujud.(al-ilm bil maujudat bimahiya maujudah). Tujuan terpenting mempelajari filsafat adalah mengetahui tuhan, bahwa ia esa dan tidak bergerak, bahwa ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada , bahwa ia mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan-Nya, Seorang filosof atau al hakim adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang zat yang ada dengan sendirinya (al-wajibli-dzatihi), Wujud selain Allah, yaitu mahluk adalah wujud yang tidak sempurna.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi.
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut) dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran agama.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab bin Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra ,Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah,jilid 6

Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat,  Jakarta : Triputra Masa, 1984

Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001

Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986

-------, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, Jakarta : Bula Bintang, 1984

Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996

Al-Ghazali. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. Cetakan I, 1409 H / 1988 M., lihat juga karya beliau Kasyf Ulum al-Akhirah, Berwisata ke Alam Ruh. Penerbit Marja', Bandung. Cetakan I, Dzulhijjah 1424 H / Januari 2004 M.

Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964), jilid I

B. Delfgaauw, “Ontologia dan Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed), Berpikir Secara Kefilsafatan, Yogyakarta : Nur Cahaya, 1988

Eduarny Tarmiji, “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1973

------, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1996

JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam, Yogyakarta : Kanisius, 1986

 Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman, Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992, juz VII

Lorens Bagus, Metafisikai, Jakarta : Gramedia, 1991
M. Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam Amin Abdullah dkk, Mencari Islam Studi dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta :Tiara Wacana, 2000

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Jaya, 1986

Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam, Bandung : Mizan, 1994

Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam, Jakarta : Bulan Bintang,1984

Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu,Bandung :Mizan,1997

Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu, Bandung : Mizan,1997

Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam Jakarta : Paramadina, tt

Sirajuddin Zar,  Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang, 1949

Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah), Jakarta : PT Kinta, 1968







 


[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), h.26  
[2] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :Mizan,1997), h. 26
[3] Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89
[4]Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), h. 66
[5] Eduarny Tarmiji, “Konsep Al-Farabi tentang Negara Utama”, thesis magister. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2004, hal. 67
[6] Ibid
[7] Sirajuddin Zar,  Filsafat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal.  35
[8]Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah), (Jakarta : PT Kinta, 1968),h.13
[9] JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986), h. 13
[10] Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan Bintang,1984), h. 30
[11] Dalam tradisi pemikiran filsafat di lingkungan pemikiran Muslim abad tengah, terdapat seorang ahli logika dan filsafat Yunani yakni Abu Bishr Matta (870-940). Ia guru al- Farabi. Abu Bishr Matta pernah berpolemik dengan seorang ahli agama (mutakallimun/teolog) Muslim Abu Sa’id al-Sirafi (893-979). Mereka berbeda pendapat tentang fungsi dan manfaat logika dan filsafat pada umumnya bagi dunia Islam yang sedang dalam tahap memacu pertumbuhan dan pemekaran keilmuan.Lihat M. Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam Amin Abdullah dkk, Mencari Islam Studi dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta :Tiara Wacana, 20000, h. 10
[12]M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), h. 151
[13] Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 1994), h. 39
[14] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islami, hal. 28
[15] Lorens Bagus, Metafisikai (Jakarta : Gramedia, 1991), h. 2-3
[16] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara, Sejarah Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986), h. 173
[17]Hampir tiap tulisan Harun menguraikan perintah al-Quran tentang perlunya berpikir; banyak ayat-ayat yang berkait dengan ini.  
[18] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung : Mizan,1997), h. 118
[19]B. Delfgaauw, “Ontologia dan Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed), Berpikir Secara Kefilsafatan (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1988), h. 23
[20] Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat,  (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 91
[21]Madjid Fakhry, A History, h. 181-183
[22] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,(Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia), 1996, hal. 50
[23] Ahmad Daudy, MA, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1986, hal. 60
[24] Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949, hal. 49
[25] Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1996, hal. 115, Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hal. 65
[26] Ibid
[27] sigitwahyu.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1
[28]Ibid, hal. 125 - 126
[29] Ibid
[30] Harun Nasution, Islam Rasional, (Jakarta :  Mizan), hlm. 44
[31] Lihat bukunya, Al-Farabi, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1962) hlm. 41
[32] Harun Nasution, Falsafat … Opcit., hal 34-35
[33] Ibid
[34] Ibid., hal. 36 - 37
[35] Ahmad Daudy, Segi - Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta : Bula Bintang), 1984, hal. 42
[36] Ibid
[37] Abdul Wahab bin Ali al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubra (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah) jilid 6, p.191 lihat juga Khoiruddin al-Zarikli, al-A’laam Qamus Tarjuman (Beirut: Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1992), juz VII, hal. 247-248
[38] Abu Hamid al-Ghazali, Fadaih al-Batiniyah, (Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2001), hal. 7
[39]Lihat Tajuddin Abi Nasr ‘Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki,Tabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1968), hal. 194
[40] Al-Ghazali. Ad-Durrah al-Fakhirah fi Kasyf Ulum al-Akhirah. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. Cetakan I, 1409 H / 1988 M., lihat juga karya beliau Kasyf Ulum al-Akhirah, Berwisata ke Alam Ruh. Penerbit Marja', Bandung. Cetakan I, Dzulhijjah 1424 H / Januari 2004 M.
[41] Al-Qashandi, Ma’tsir Inafah fi Ma’alim al-Khalifah (Kuwait: Wizarat al-Irsyad, 1964), jilid I, hal. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar