Senin, 30 Januari 2012

Sejarah Sosial dan Pemikiran Muhammad Abduh


BAB I
PENDAHULUAN

Dorongan terhadap tantangan penetrasi abad ke 19 M yang tarik menarik dengan kondisi objektif umat Islam saat itu, telah mewujudkan artikulatifnya pada pemikiran pembaharuan dua tokoh pembaharuan Islam, yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua tokoh ini dengan caranya masing-masing telah mencoba menawarkan dan melontarkan beberapa gagasan pembaharuan. Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam, pengamatan dan penulusuran terhadap kedua tokoh pembaharuan ini akan menjadi menarik, sebab paling tidak, keduanya disoroti lewat kerangka hubungan guru dengan murid.
Hubungan ini memungkinkan terjadinya persentuhan dan dialog intelektual yang intens di antara keduanya. Hubungan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam bentuk hubungan guru dan murid, pada kenyataannya menghasilkan logika hubungan bahwa tidak selamanya murid itu sama dengan guru. Walaupun gagasan keduanya berakar pada dasar pemikiran yang sama, yaitu semangat kembali pada ajaran ideal al-Qur'an dan Hadits. Namun tampaknya dalam beberapa hal, mereka berbeda dalam refleksi. Perbedaan dalam refleksi itu, nampaknya juga tidak bisa dipisahkan dengan kenyataan bahwa mereka datang dari dan dibentuk oleh tradisi pendidikan, pemikiran dan sosial kultural yang berbeda. Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa pemikiran antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang ide-ide pembaharuannya.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Muhammad Abduh
1.      Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di Mesir Hilir tahun 1849 M. Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai Umar bin Khatab. Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr. Muhammad Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[1]
Muhammad Abduh mulai belajar membaca dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya, kemudian setelah mahir membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al-Qur’an. Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun. Kemudian Ia dikirim ke Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862, Ia belajar bahasa Arab, nahu, sarf, fiqih dan sebagainya. Metode yang digunakan dalam pembelajaran itu tidak lain metode hapalan diluar kepala, dengan metode ini Ia merasa tidak mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.[2]
Ketidak puasan dengan metode menghapal diluar kepala, Ia meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang kekampung halamannya dan berniat akan bekerja sebagai petani. Dan pada tahun 1865, sewaktu masih berumur 16 tahun Iapun menikah.
Setelah empat puluh hari menikah, Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk belajar, Iapun meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta, malah bersembunyi dirumah pamannya yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorang terpelajar pengikut tarikat Syadli dan merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.[3]
Syekh Darwisy kelihatannya tahu keengganan Muhammad Abduh untuk belajar, kemudian ia selalu membujuk pemuda itu untuk bersama-sama membaca buku, namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap menolaknya .Berkat kegigihan Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau membacanya, dan setiap Ia membaca beberapa baris Syekh Darwisy memberi penjelasan luas tentang arti yang dimaksud oleh kalimat itu. Setelah beberapa kali membaca Muhammad Abduhpun berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu pengetahuan. Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan tahu lebih banyak. Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta, Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun 1866. Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaludin Al-Afgani, ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul. Dalam perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur an. Kemudian ia memberikan tafsirannya sendiri. Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik didalam diri Muhammad Abduh.[4] Dan ketika Jamaludin Al-Afgani datang da tahun 1871,untuk menetap di Mesir, Muhammad Abduh menjadi murid yang paling setia. Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani. Dimasa ini Ia mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit.
Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim. Ia kemudian mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar, Darul Ulum dan dirumahnya sendiri, Ia mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih, Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain. Dari sinilah Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
2.      Muhammad Abduh dalam Pembaharuan
Abduh pernah menjabat Syekh atau rektor di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir. Pada saat itulah Abduh melakukan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut yang membawa dampak yang sangat luas di dunia Islam. Abduh juga seorang yang terkenal dengan pembaharuannya di bidang pergerakan politik, dimana Abduh bersama gurunya menerbitkan majalah al-‘Urwatul Wutsqa di Paris. Dalam agama dan sosial di Mesir pada abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam.
1.      Pembaharuan dalam Ranah Pendidikan Islam di Al-Azhar
Pilar pembaharuan yang dikedepankan Abduh adalah gerakan kultural lewat media pendidikan. hal ini sangatlah tepat karena di dalam proses pendidikan terjadi proses transmisi tentang nilai, tradisi maupun kebudayaan sekaligus juga terjadi proses komunikasi antara satu ide dengan ide-ide yang baru.[5] Reformasi pendidikan ini difokuskan pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Abduh berpendapat bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sain-sain modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebaba-sebab kemajuan yang telah mereka capai.[6] Usaha awal reformasi Abduh adalah memperjuangan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang padam diharapkan dapat dinyalakan kembali[7].
Namun usaha pembaharuan Muhammad Abduh di Al-Azhar pada akhirnya terbentur  batu karang yang begitu kokoh yang bernama “kolotisme”. Usaha Abduh untuk mengusung pembaharuan sistem pendidikan yang menghilangkan dikotomi pendidikan, justru membuat Abduh terpental dan dipecat, sehingga kembalilah Al-Azhar pada keadaan semula dengan segala macam kurikulum yang espired. Namun sebagai sebuah pemikiran, modernisasi pendidikan Islam-nya menembus belantara Al-Azhar bahkan melanglang buana ke seluruh dunia Islam.
2.      Pembaharuan dalam Ranah Pendidikan Politik
Ketertarikan Muhammad Abduh pada dunia politik dimulai semenjak perkenalannya dengan seorang tokoh pembaharu yaitu Jamaludin Al-Afghani pada tahun 1870 sewaktu Abduh masih menjadi mahasiswa di al-Azhar. Ketika Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879, karena dituduh mengadakan gerakan menentang Khadewi Tawfiq, Abduh dipandang ikut campur dalam soal ini, Ia dibuang keluar Cairo. Tapi pada tahun 1880 Ia boleh kembali keibu kota dan kemudian diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah “Al-Waqi’ Al-Misriyah”. Surat kabar ini dijadikan Abduh sebagai sarana perjuangan rakyat Mesir melawan kolonial.
Dalam revolusi Urabi Pasya, Abduh turut memainkan peranan. Dia bersama-sama pemimpin lainnya ditangkap, dipenjarakan dan kemudian di buang keluar negeri pada tahun 1882. Pertama di Bairut Libanon kemudian di Paris. Pada tahun1884 Ia bersama-sama Jamaludin Al-Afgani mendirikan majalah “Al-Urwatul Wutsqa” di Paris.[8] Melalui majalah ini Ia bersama Jamaludin Al-Afgani menyusun gerakan bernama Al-Urwatul Wutsqa, yaitu gerakan kesadaran umat Islam sedunia. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkannya suara keinsyapan keseluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot serta bersatu membangun kebudayaan dunia berdasarkan nilai-nilai Islam. Suara itu lantang sekali kedengarannya dan dengan pesat menggema keseluruh dunia, memperlihatkan pengaruhnya di kalangan umat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat kaum imperalis menjadi gempar dan cemas. Akhirnya majalah itu ditutup pemerintah Prancis dikala majalah itu baru terbit delapan belas nomor.
Di
bidang politik kenegaraan, Abduh memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Al-Afghani. Al-Afghani menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara, sedangkan Abduh berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat. Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena itu Abduh tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat memperbaiki umat dari dalam.
Dalam soal kekuasaan, Muhammad Abduh memandang perlu membatasi kekuasaan dengan institusi yang jelas.Tanpa konstitusi akan timbul tindakan sewenang-wenang.Untuk itu, Abduh mengajukan prinsip musyawarah yang dipandang dapat mewujudkan kehidupan politik yang demokratis.
3.      Pembaharuan dalam Ranah Sosial Keagamaan
Menurut Abduh, faktor penyebab kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang terdapat dikalangan umat Islam yang menjangkiti di semua ranah; bahasa, syariah, akidah dan sistem masyarakat.[9] Abduh menganjurkan kembali ke ajaran-ajaran semula sebagaimana yang terdapat di zaman salaf, yaitu zaman sahabat dan ulama besar.[10]
Untuk mencerahkan umat Islam dari kejumudan, Abduh menerbitkan majalah Al-Manar. Penerbitan majalah ini diteruskan oleh muridnya yaitu Rasyid Ridla (1865-1935) yang kemudian menjadi tafsir Al-Manar. Adapun pokok –pokok pemikiran Muhammad Abduh dibidang sosial keagamaan adalah :
1)      Kemajuan agama Islam itu tertutup oleh umat Islam sendiri, dimana umat Islam beku dalam memahami ajaran Islam, dihafalkan lafadznya tapi tidak berusaha mengamalkan isi kandungannya. Dalam hal ini ungkapan Abduh yang terkenal di dunia Islam الاسلام محجوب بالمسلمين “Islam itu tertutup oleh pengikut-pengikut Islam itu sendiri”.
2)      Akal mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam agama Islam. الدين هو العقل لا دين لمن لا عقل له”Agama adalah sejalan dengan akal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menggunakan akal”. Dari akal akan terungkap misteri alam semesta yang diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia itu sendiri.Hanya dengan ketinggian akal dan ilmu manusia mampu mendudukan dirinya sebagai makhluk Allah yang tunduk berbakti kepada yang Maha Pencipta.
3)      Ajaran Islam sesuai dengan pengetahuan modern begitu pula
Ilmu Pengetahuan modern pasti sesuai dengan ajaran Islam.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa antara ilmu dan iman tidaklah mungkin saling kontradiktif. Karenanya ia meramu ajaran-ajaran dasar Islam dalam suatu jamuan intelektual yang bisa diterima oleh fikiran modern. Bahkan ia berargumen bahwa Islamlah satu-satunya agama yang dengan konsisten menyeru penganutnya untuk menggunakan rasio dan memahami alam. Menurut Abduh al-Qur’an dan Hadis melarang umat Islam untuk bertaklid.[11] Hal inilah yang kemudian disebut-sebut oleh Fazlur Rahman bahwa Abduh telah menawarkan suatu kemajuan penting dalam pemikiran teologi Islam.[12] Bahkan menurut Abduh letak keunggulan agama Islam dengan agama-agama lainnya adalah karena dogma-dogma dasarnya dapat sepenuhnya diterangkan secara rasional dan bebas dari berbagai macam misteri.[13]
3.  Karya-Karya Muhammad Abduh
Karya beliau pertama kali, dan menjadi dasar pijakan beliau dalam membentuk dan menelurkan konsep berfikir tauhid dan aqidah yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Al-hadits adalah “Kitab Risalatu Tauhid”. Buku ini berasal dari diktat-diktat sewaktu kuliah beliau padaUniversitas Al-azhar yang kemudian untuk keparluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukan oleh pengarang. Sedangkan karya-karyanya yang lain yaitu :
·         Tafsir Juz Amma
·         Tafsir Al-Qur an Hakim, yang diteruskan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha
·         Banyak memberi tambahan dalam kitab-kitab, salah satunya Limaza taakhkhara Islam wa taqaddama ghairuhum, karya Syakib Arsalan.
4.      Pengaruh Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pembaharuan
Usaha Muhammad Abduh dalam melakukan pembaharuan dapat bejalan sesuai dengan keinginannya. Sebab, seringkali Abduh mendapat tantangan dari para ulama yang bersikukuh berpegang pada tradisi lama. Bahkan Abduh sendiri pernah dicap sebagai orang kafir dan dituduh tidak percaya kepada Tuhan.
Tuduhan kafir yang dilakukan para ulama yang diserahkan kepadanya, membuat banyak orang lebih tertarik lagi untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Abduh yang sebenarnya. Untuk membuktikan tuduhan itu, mereka mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan kuliah yang diadakan Abduh. Dari pengamatan dan pendengaran mereka, ternyata apa yang dituduhkan kepadanya tidak terbukti kebenarannya. Setelah mereka mengatahui perihal yang sebenarnya, mereka malah menjadi pengikut setia Muhammad Abduh.
Tantangan yang dihadapi Muhammad Abduh tidak membuatnya surut untuk melangkah terus untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran pembaharuannya. Salah satu usaha pembaharuan yang telah dilakukannya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan di Al-Azhar. Meskipun usahanya boleh dibilang gagal, tetapi Abduh telah berhasil memasukkan beberapa ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum Al-Azhar, seperti lmu bumi, ilmu ukur, ilmu matematika dan Aljabar. Karena itu, pemikiran Muhammad Abduh besar pengaruhnya di kalangan pemuda, meskipun Abduh telah wafat pengaruh yang ditinggalkannya pada generasi kemudian menggerakkan Al-Azhar untuk menata kembali metode pengajaran dan kurikulumnya.
Ide dan pemikiran Muhammad Abduh di Mesir telah melahirkan banyak ulama modern, seperti Mustafa Al-Maraghi, Mustafa Abdul Raziq, Tatawi Jauhari, dan Rasyid Ridha. Pemikiran-pemikiran Abduh juga berpengaruh bagi para penulis produktif seperti Muhammad Husain Haikal, Farid Wajdi, Ahmad Amin dan Qasim. Selain berpengaruh di negeri asalnya, pemikiran Abduh juga memiliki pengaruh yang cukup luas di luar Mesir, terutama di negara-negara Arab. Pengaruh itu diperoleh melalui tulisan-tulisan Abduh dan para pengikutnya yang menyebarkan paham pembaharuannya. Seperti apa yang dilakukan Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar dan usahanya dalam pembukuan memiliki pemikiran gurunya dalam bidang tafsir, seperti tafsir Al-Manar, memiliki pengaruh yang sangat luas di kalangan para pelajar atau mahasiswa Timur Tengah, selain mereka yang belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir. Lewat merekalah pemikiran-pemikiran Abduh tersosialisasikan dengan baik, hingga dikenal banyak orang dan dijadikan bahan rujukan bagi usaha pembaharuan Islam di negeri asal masing-masing mahasiswa tersebut, termasuk mahasiswa yang berasal dari Indonesia.
B.     Rasyid Ridha
1.      Biografi Rasyid Ridha
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada hari Rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantai Laut Temgah, sekitar 3 mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon. Saat itu Libanon merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Turki Usmani. Sayyid Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin al- Qalamuni adalah murid terdekat Muhammad Abduh. Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW dari keturunan al- Husayn, putra Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fathimah, putri Rasulullah SAW. Itulah sebabnya, Ridha menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.[14]
Semasa kecil dan mencapai usia tujuh tahun ia dimasukkan ke madrasah tradisional yang disebut Kuttab di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Quran. Beberapa tahun setelah menamatkan pelajarannya di Kuttab, Ridha meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtida’iyyah al-Rusydiyyah di Tripoli di mana ia diajarkan ilmu nahwu, sharaf, tauhid, fiqh, ilmu bumi, dan matematika. Karena tujuan madrasah milik pemerintah Turki ini untuk mempersiapkan sumber daya manusia bagi pemerintah, maka Ridha keluar dari madrasah tersebut karena ia enggan menjadi pegawai pemerintah.
 Di tahun 1882 M/ 1300 H, ia meneruskan pelajaran di Al-Madrasah Al- Wataniyah Al-islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh Al-syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam Libanon yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern yang digulirkan oleh al-Sayyid Jamal al-Din al Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.[15] Namun, madrasah tersebut tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari pemerintah Kerajaan Usmani .[16]
Rasyid Ridha memiliki perhatian pada gerakan tarekat, dan bergaul dengan berbagai penganut tarekat, terutama tarekat naqsyabandiyah. Tetapi tidak lama kemudian ia menjadi sangat kecewa dengan golongan-golongan tarekat tersebut. Alasan utama karena ritual dan cara mereka berzikir dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar.alasan yang lain mungkin karena ia telah berkenalan dengan aliran pemurnian Islam dari Afgani. Karena itulah ia berubah memusuhi penganut-penganut tarekat.[17]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi hubungan dengan Al-syaikh Husain Al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah Al-Urwah Al-Wustqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istanbul tetapi niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid terdekat Al-Afghani ini.[18]
 Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.[19] Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Ridha bertemu pertama kali dengan Abduh pada akhir tahun 1882 sewaktu Abduh diusir dari Mesir dan datang ke Beirut.[20]
Ia mulai mencoba menjalankan ide-ide pembaharuan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat tantangan dari pihak Kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas dan oleh karena itu memutuskan pindah ke Mesir, dekat dengan Muhammad Abduh. Pada bulan Januari 1898 ia sampai di negeri gurunya. Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah yang termasyhur, Al-Manar. Majalah ini banyak menyiarkan ide-ide Muhammad Abduh.[21] Penerbitan majalah ini bertujuan melanjutkan misi majalah yang sebelumnya, Al-Urwah Al-Wusqa. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman.
Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al- Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi Tafsir Al-Manar.
Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al- Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran.[22] Sepeninggal Abduh, Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis bersamasama gurunya, yakni pembaharuan keagamaan, dengan meneruskan penerbitan majalah Al-Manar, dan juga tafsir Al-Quran dengan nama yang sama, Al-Manar.
Selain itu Ridha juga lebih aktif melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan politik dunia Islam. Di tahun 1909 ia pergi ke Istanbul meminta sokongan dan bantuan tetapi tidak berhasil. Usahanya di Kairo akhirnya berhasil, dan di tahun 1912 dapat didirikan sekolah yang dimaksud dengan nama Madrasah Al-Da’wah wa Al-Irsyad. Umur sekolah misi itu tidak panjang karena terpaksa ditutup di waktu pecahnya Perang Dunia 1. Sewaktu masih di tanah airnya, Rasyid Ridha pernah memasuki lapangan politik dan setelah pindah ke Mesir atas nasehat Muhammad Abduh, ia menjauhi lapangan politik. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah ia mulai bermain politik. Ia meninggal dunia di bulan Agustus 1935, sekembalinyadari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal Suez.[23]
2.      Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha, tidak banyak berbeda dengan ide-ide Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Ia berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Dalam islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat. Diantara bid’ah itu ialah pendapat bahwa dalam islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya, sedangkan kebahagiaan di akhirat dan dunia diperoleh, melalui hukum alam yang diciptakan tuhan.[24]
Rasyid Ridha mengakui terdapatnya paham fatalisme di kalangan umat Islam. Ia sepaham dengan koleganya, Abd Al-Rahman Al-Kawakibi, bahwa salah satu dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah paham fatalisme itu. Dan selanjutnya salah satu sebab yang membawa masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah paham dinamika yang terdapat di kalangan mereka. Salah satu sebab lain bagi kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang dimaksudkan olehnya bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama.[25]
Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah Negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala Negara ialah khalifah. Karena khalifah mempunyai kekuasaan legislatif, maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi dalam pada itu khalifah tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantupembantunya yang utama dalam soal memerintah umat.[26] Khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan umat Islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal, karena khalifah hanya menciptakan Hukum Perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.[27]
Menurut Rasyid Ridha paham nasionalisme bertentangan dengan paham persatuan umat Islam, karena persatuan dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan bangsa dan bahasa, tetapi terciptanya persaudaraan yang tunduk di bawah satu undang-undang yang dijalankan oleh seorang khalifah.[28]
Adapun pemikiran politik Rasyid Ridha terlihat di dalam karyanya Alkhilafahau al-imamah al-uzhma berpendapat bahwa jabatan khilafah perlu dihidupkan kembali dengan membentuk ahl al-hall wa al-aqd. Kelompok ini bertugas mendirikan pemerintahan yang mengatur kemaslahatan umat Islam dan semua umat manusia. Lebih jauh, ia menghendaki agar khalifah adalah orang yang ahli fiqh (faqih).[29]
Kualifikasi calon khalifah, Ridha mengutip Al-Mawardi yang mengatakan, bahwa seorang khalifah haruslah memiliki sifat adil, berilmu dan dapat berijtihad, sehat panca inderanya, sehat anggota badannya, berpandangan luas dan berasal dari suku Quraisy berdasarkan hadits Nabi: al-Aimmat min al-Quraisy.[30] Di antara syarat-syarat tersebut Ridha memberi tekanan pada syarat terakhir. Alasan yang dikemukakan karena banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak pernah diperselisihkan oleh Ahl al-Sunat baik Arab maupun ‘ajam.[31] Namun demikian, seandainya tidak mungkin dari orang Quraisy, maka, seorang yang akan dipilih jadi khalifah hendaknya memiliki sifat-sifat dan watak seperti orang Quraisy.[32]
Khalifah dipilih oleh para anggota ahl al-halli wa al-‘aqd yang oleh Ridha disebutnya ahl al-ikhtiyar (orang-orang yang berhak memilih).[33] Tetapi Ridha membenarkan sistem pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Ridha mengajukan syarat-syarat bagi ahl al-halli wa al-‘aqd yang dikutipnya dari Al- Mawardi. Pertama, adil dengan segala syaratnya. Kedua, berilmu sehingga ia dapat mengetahui siapa yang berhak menjadi khalifah. Ketiga, mempunyai wawasan dan kebijakan dalam menentukan siapa yang lebih pantas menjadi khalifah dan lebih mampu menegakkan kemaslahatan.[34]
Kewajiban pembentukan khalifah ini, menurut Ridha, bahwa khilafah, imamat al-uzdma dan imamat al-mu’minin adalah kepala pemerintahan untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunia. Batasan ini sejalan dengan pengertian imamah yang dikemukakan al-Taftazani dan al-Mawardi. Menurut al- Taftazani, imamah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia yang diwarisi dari Nabi. Dalam pada itu al-Mawardi berpendapat bahwa imamah adalah pengganti Nabi dalam memelihara urusan keagamaan dan keduniaan. Di samping itu terdapat ijma’ sahabat dalam hal pengukuhan Abu Bakar sebagai khalifah nabi sampai mereka mendahulukannya dari penguburan Nabi. Lagi pula, adanya kewajiban taat pada Islam berdasarkan al-Quran dan Sunnah memang menghendaki pengangkatan seorang Imam.[35]
Sungguhpun Ridha tetap mempertahankan sistem khilafah, tetapi ia menginginkan adanya perbaikan dalam pemerintahan tersebut. Perbaikan itu berwujud pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah yang selama ini berjalan secara turun-temurun dan dalam perumusan dan penetapan peraturan kebijaksanaan politik pemerintah, perang, serta pembinaan kesejahteraan umum yang senantiasa berubah dari zaman ke zaman.[36] Syura juga penting dilaksanakan untuk memilih khalifah dan menetapkan peraturan termasuk soal agama yang tidak punya nash dalam al-Quran dan al-Sunnah.[37]
Menurut dia, keanggotaan ahl al-hall wa al-aqd ini tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dilengkapi dengan pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang. Sedangkan peranan dan tanggungjawab lembaga tersebut tidak berakhir dengan selesainya pengangkatan khalifah. Mereka bertugas sebagai pengawas atas jalannya pemerintahan khalifah dan mencegah perbuatan penyelewengan meskipun dengan kekerasan. Kemudian dalam rangka mempersiapkan calon-calon khalifah yang memenuhi kualifikasi, maka perlu didirikan suatu lembaga pendidikan tinggi keagamaan. Lulusan dari lembaga ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan kemampuan berijtihad. Pemilihan itu dilakukan oleh rekan-rekan sesama alumnus dengan asas bebas, yang kemudian dikukuhkan oleh atau melalui bai’at ahl al-hall wa al-aqd dari seluruh dunia Islam. Khalifah yang telah dibai’at ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang menentangnya.[38]
Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Bahkan ia melihat wajib bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Umat Islam di zaman klasik mencapai kemajuan karena mereka maju dalam bidang ilmu pengetahuan. Barat maju karena mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam itu. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan Barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.[39]
3.      Karya-Karya Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah seorang ilmuwan yang cukup produktif menulis. Hal ini dapat dilihat dari hasil karya dan pemikirannya yang dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Berikut antara lain karya Rasyid Ridha:
1.      Al-Hikmah As-Syar’iyyah fi Muhakamati Dariyyah wal Rifa’iyah
2.Al-Azhar wa Al-Manar
3.Tarikhul Ustadz wal Imam
4.Nida lil Jinsil Lathief
5.Dzikra Mauludin Nabi
6.Risalatul Hujjaatul Islam Al-Ghazali
7.As-Sunnah wa Syi’ah
8.Al-Wahdatul Islamiyah
9.Haqiqaturriba
10.  Al-Wahyu Al-Muhammadi
11.  Al-Khilafah awil Imam Al-’Udzma
12.  Tafsir Al-Manar



DAFTAR PUSTAKA


A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar Jakarta:Erlangga

A. Mukti Ali,  Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,.  (Jakarta : Djambatan, 1995
Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan, 1996 dalam Dunia Islam Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Fazlur Rahman, Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979.

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan Jakarta: Bulan Bintang, 1992
.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan

http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam

I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid Kairo; Maktabah Misr

J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994

John Dewey, Democracy and Education an Introductio to the Philosophy of Education, London: The Press Paperback Macmillan Publishing, 1966

Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York: Columbia University Press, 1983.
Muhammad Abduh, Al-Islam al-Din al-Ilm wa al-Madaniyyah, (Kairo: Majlis ‘ala al-Qahirah, 1964

Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus AN, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat Jakarta: Raja Grafindo Persada

Muhammad Imarah, Al-Amal al-Kamilat li al-Imam Muhammad Abduh, Beirut: Al-Muassasah al-Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1972
Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran Jakarta: Universitas Indonesia
Pengantar penterjemah oleh H. Firdaus A.N., B.A. Sjech Muhammad ‘Abduh dan Perjuangannja dalam Syech Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Terjemahan. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1965). Hal. 7. Namun sumber lain menyatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1848. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2001

Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma, Kairo: al-Manar, 1341 H

Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2001



[1]Pengantar penterjemah oleh H. Firdaus A.N., B.A. Sjech Muhammad ‘Abduh dan Perjuangannja dalam Syech Muhammad Abduh. Risalah Tauhid. Terjemahan. (Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1965). Hal. 7. Namun sumber lain menyatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1848. Lihat Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. (Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2001). Hal. 12-13
[2] Zakiyuddin Baidhawy, M. Ag. et all. Studi Kemuhammadiyahan : Kajian Historis, Ideologi, dan Organisasi. Cetakan VI. (Lembaga Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2001). Hal. 12-13
[3]Ibid
[4]Ibid
[5] John Dewey, Democracy and Education an Introductio to the Philosophy of Education, (London: The Press Paperback Macmillan Publishing, 1966), 9.
[6] A. Mukti Ali,  Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,.  ( Jakarta : Djambatan, 1995), h. 365
[7] Nurchalish Madjid, Islam Kemodern dan Keindonesiaan, h. 311

[8] Ali Rahnema, Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Mizan, 1996), 38.
[9] Muhammad Imarah, Al-Amal al-Kamilat li al-Imam Muhammad Abduh (Beirut: Al-Muassasah al-Arabiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1972), 320-327.
[10] Muhammad Abduh, Al-Islam al-Din al-Ilm wa al-Madaniyyah, (Kairo: Majlis ‘ala al-Qahirah, 1964), 140-145.
[11] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Firdaus AN, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) 6-8.
[12] Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 16-18.
[13] Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983), 31.
[14] A. Athaillah, Rasyid Ridha: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manar (Jakarta:Erlangga) hlm. 26
[15] Ibid., hlm. 27
[16]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1992) hlm. 69
[17] Muhammad Azhar, MA, Filsafat Politik: Perbandingan antara Islam dan Barat (Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm. 107
[18] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
gerakan, hlm. 70
[19] http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam
[20] Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: Universitas Indonesia) hlm. 122
[21] Harun Nasution, Loc.Cit
[22] http://www.suaramedia.com, Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam
[23] Munawir Sjadzali, M.A., Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hlm. 123
[24] I.A. Al-‘adawi, Rasyid Ridha, Al-Imam Al-Mujahid (Kairo; Maktabah Misr) hlm. 154
[25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm.
73-74
[26] Ibid., hlm. 74-75
[27] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 86
[28] Ibid., hlm. 87
[29] Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma (Kairo: al-Manar, 1341 H) hlm.
73
[30] Ibid., hlm. 18-19
[31] Ibid., hlm. 7
[32] J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) hlm. 292
[33] Rasyid Ridha, al-Khilafah au al-Imamah al-Udzma, hlm. 15
[34]  Ibid., hlm. 16
[35] Ibid., hlm. 10
[36] Ibid., hlm. 30
[37] Ibid., hlm. 15
[38] Ibid., hlm. 30
[39] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan, hlm. 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar